Selamat Hari Tari Sedunia, Banggalah Banyuwangi Punya Gandrung
By SEMANGAT BANYUWANGI - April 29, 2015
Selamat Hari Tari Sedunia, ya hari ini 29 April 2015 memang diperingati sebagai hari tari sedunia. siapa sangka salah satu tari dari banyuwangi merupakan salah tari yang sudah di kenal diberbagai belahan dunia, ya.! Tari Gandrung namanya. Mungkin justru sebagai masyarakat banyuwangi, kita kurang paham apa itu tari gandrung dan bagaimana sejarah dari tari gandrung, yuk kita bahas mengenai tari gandrung yang menjadi kebanggaan masyarakat banyuwangi.
Asal
Istilah
Kata ""Gandrung"" diartikan sebagai
terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi
yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Pertunjukan Gandrung Banyuwangi
Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan
rasa syukur masyarakat setiap habis panen. Kesenian ini masih satu genre dengan
seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali,
dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama
tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Gandrung merupakan
seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa
dan Bali. Tarian
dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan
laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi
khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di
ujung timur Pulau Jawa,
dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika
Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering
dijuluki Kota Gandrung dan
patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.
Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti
perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun
tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan,
pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga
menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).
Sejarah
Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan
dibabadnya hutan “Tirtagondo” (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan
pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit yang dilantik sebagai
bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang Demikian antara lain yang
diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu.
Mengenai asalnya kesenian gandrung Joh Scholte dalam
makalahnya antara lain menulis sebagai berikut: Asalnya lelaki jejaka itu
keliling ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang
dan sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka
membawanya di dalam sebuah kantong. (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab
“Gandrung Lelaki”).
Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh
berbeda dengan cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun, bahwa
gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi
berupa kendang dan beberapa rebana (terbang). Mereka setiap hari berkeliling
mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Balambangan sebelah
timur (dewasa ini meliputi Kab. Banyuwangi) yang jumlahnya konon tinggal
sekitar lima ribu jiwa, akibat peperangan yaitu penyerbuan Kompeni yang dibantu
oleh Mataram dan Madura pada tahun 1767 untuk merebut Balambangan dari
kekuasaan Mangwi, hingga berakirnya perang Bayu yang sadis, keji dan brutal
dimenangkan oleh Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772. Konon jumlah rakyat yang
tewas, melarikan diri, tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau di selong (di
buang) oleh Kompeni lebih dari enam puluh ribu jiwa. Sedang sisanya yang
tinggal sekitar lima ribu jiwa hidup terlantar dengan keadaannya yang sangat
memprihatinkan terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak
yang belindung di hutan-hutan, terdiri dari para orang tua, para janda serta
anak-anak yang tak lagi punya orang tua.(telah yatim piyatu) dan selain itu ada
juga yang melarikan diri menyingkir ke negeri lain. Seperti ke Bali, Mataram,
Madura dan lain sebagainya.
Setelah usai pertunjukan gandrung menerima semacam
imbalan dari penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi lainnya dan
sebagainya. Dan sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut, merupakan
sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada mereka yang keadaannya sangat
memprihatinkan dipengungsian dan sangat memerlukan bantuan, baik mereka yang
mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup dihutan-hutan
dengan segala penderitaannya walau peperang telah usai.
Mengenai mereka yang bersikeras hidup di hutan dengan
keadaannya yang memprihatinkan tersebut, disinggung oleh C. Lekerkerker yang
menulis beberapa kejadian setelah Bayu dapat dihancurkan oleh gempuran Kompeni
pada tanggal 11 Oktober 1772, antara lain sebagai berikut; Pada tanggal 7
Nopember 1772, sebanyak 2505 orang lelaki dan perempuan telah menyerahkan diri
ke Kompeni, Van Wikkerman mengatakan bahwa Schophoff telah menyuruh
menenggelamkan tawanan laki-laki yang dituduh mengobarkan amuk dan yang telah
memakan dagingnya dari mayatnya Van Schaar. Juga dikatakan bahwa orang-orang
Madura telah merebut para wanita dan anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian
dari mereka yang berhasil melarikan diri kedalam hutan telah meninggal karena
kesengsaraan yang dialami mereka. Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat
yang membusuk sampai jarak yang jauh. Yang lainnya menetap dihutan-hutan
seperti; Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan sebagainya. Dan mereka bersikap
keras tetap tinggal dalam hutan dengan segala penderitaannya.
Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat
perjuang dan yang setiap saat acap kali mengadakan pagelaran dengan mendatangi
tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat yang hidup bercerai-berai di
pedesaan, di pedalaman dan bahkan sampai yang masih menetap di hutan-hutan
dengan keadaannya yang memprihatinkan, kemudian mereka mau kembali kekampung
halamannya semula untuk memulai membentuk kehidupan baru atau sebagaian dari
mereka ikut membabat hutan Tirta Arum yang kemudian tinggal di ibukota yang
baru di bangun atas prakarsa Mas Alit. Setelah selesai ibu kota yang baru
dibangun dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan
yang dibabad (Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan
kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai
habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi Belambangan sebelah timur
yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan Kompeni (yaitu yang dewasa ini
meliputi Daerah Kabupaten Banyuwangi).
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah
gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih
berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu
Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke
dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah)
bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo
sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).
Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai
babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.
Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya
ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut
laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang
ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah
digunakan. Namun, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi
sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk
transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki
baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya,
yakni Marsan.
Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan
untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat,
berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti
oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama
panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan
menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh
para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai
banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian
ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan
eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.
Tata
Busana Penari
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda
dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan
Blambangan) yang tampak.
Bagian Tubuh
Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari
beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik
yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang
bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut
dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas.
Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian
pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain
berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.
Bagian Kepala
Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang
terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan
merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima]
yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh
rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini
tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung.
Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada
omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna
perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada
tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di
atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang
pada gilirannya memberi kesan magis.
Bagian Bawah
Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak
bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri
khusus adalah batik dengan corakgajah oling, corak tumbuh-tumbuhan
dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi.
Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak
dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap
pertunjukannya.
Lain-lain
Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua
buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu
buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya,
khususnya dalam bagian seblang subuh.
Musik Pengiring
Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari
satu buah kempul atau gong,
satu buah kluncing (triangle),
satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasangkethuk. Di samping
itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjak atau
kadang-kadang disebut pengudang (pemberi
semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap
pertunjukan gandrung. Peran panjak dapat
diambil oleh pemain kluncing.
Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai
bentuk kreasi dan diiringi electone.
Tahapan-Tahapan Pertunjukan
Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian:
Jejer
maju atau ngibing
seblang subuh
Jejer
Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan
gandrung. Pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara
solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.
Maju
Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan
selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang
terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu
terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di
tengah-tengah. Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya
satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari
gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.
Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan
penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan
dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repèn (nyanyian
yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh.
Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para
penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan
lagi.
Seblang subuh
Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian
pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan
beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan
penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang
dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil
menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya seblang
lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena
masih terhubung erat dengan ritual seblang,
suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan (meski sulit
dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian
seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup
satu pertunjukan pentas gandrung.
NAH.!!! Kalau kita sudah tau, kewajiban kita melestarikanya, ya akalau bisa kita juga bisa menarikan tari gandrung agar tarian ini tetep jaya di tanah banyuwangi dan masih bisa dibawakan oleh pemuda pemudi banyuwangi. tidak mau kan kalau gandrung di klaim negara lain.!!!
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi
0 komentar